Bagi saya, novel ini menguak memori masa kecil. Saya lahir dan besar di Jakarta, tepatnya di Pondok Gede. Saya tinggal di lingkungan yang kental dengan budaya Betawi, di mana Bokir, Mandra (yang waktu itu masih miskin) sehari-hari bertemu dengan saya. Saya juga kerap menonton cucu-cucu Pak Haji Bokir berlatih di sanggar mereka saat malam minggu tiba.
Ketika novel ini terbit sebagai cerber di Republika pada tanggal 8 Agustus 2008, tengah malam hari tanggal 9 Agustus 2009, papah saya dipanggil Yang Kuasa. Ia belum sempat melihat karya saya yang teranyar. Untuk itulah novel ini saya persembahkan untuk Papah.
Sinopsis Kronik Betawi
“Coba dulu babeh gue ngajarin mantra Jiung yang dipake buat nyelametin orang-orang waktu tentara Jepang ngejarah, pasti tanah gue sekarang masih utuh… bisa selamet dari orang-orang yang pada ngegusur!” -Haji Jaelani, pengusaha sapi perah baru kena gusur-
“Kira-kira kapan ye, pertunjukan lenong dibayar seratus juga sekali manggung?” -Haji Jarkasi, pernah berguru pada Haji Bokir-
“Emang orang Betawi itu tukang kawin ye? Aye kagak setuju kalo ini dibilang tradisi!” -Juleha, belum hajjah-
Kebanyakan orang Jakarta sekarang pada kurang paham, kalau Menteng itu nama buah, Bintao itu nama pohon dan Kebon Jeruk, memang dulu di sana ada hamparan tanaman yang benar-benar jeruk buahnya. Para pendatang agaknya hanya kenal nama-nama itu sebagai kawasan gedongan. Lalu, benarkah yang namanya peradaban itu berarti membangun banyak gedung? Dalam Kronik Betawi, Ratih Kumala bercerita tentang perjalanan Betawi dan anak daerahnya menghadapi modernisasi ibukota tercinta ini. Ternyata, yang hilang tidak cuma tanaman-tanaman itu -yang menyisakan nama- tetapi sejarahnya pun juga ikut terkubur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar